Negeri Pedas dan Politikus Kancil

Tahun 2011 merupakan tahun pedas. Selain pedasnya harga cabai juga diikuti pedasnya propaganda-propaganda antar elite politik. Rasa pedas itu merupakan langkah-langkah untuk mendapatkan perhatian publik dan memperebutkan ruang publik dalam keadaan demokrasi yang masih rentan akan perlombaan dalam menuai kekuasaan.
Mungkin sekali mental anak bangsa yang selalu ingin berkuasa ini dan tak pernah ada yang mau mengalah dipengaruhi oleh proses pendidikan yang salah sejak kecil. Tidak saja menggemari lomba panjat pinang, sejak kecilpun anak-anak sekolah sudah menelan habis dongeng Kancil Mencuri Ketimun. Bahwa Kancil adalah hewan yang cerdas, lincah, pandai berbohong, dan lihai berkelit dari hukuman. Sehingga pada prosesnya mencuri adalah baik dan merupakan keunggulan tersendiri bagi seseorang.
Munculnya gerakan tokoh agama yang menyatakan pemerintah bohong. Kemudian disusul gerakan 100 Tokoh Pergerakan yang terang-terangan menyatakan keinginan untuk pemakzulan, merupakan tolok ukur bagaimana pemerintahan ini berjalan begitu pedas. Dialog antara pemerintah dan tokoh-tokoh agama yang terjadi beberapa waktu lalu setidaknya perlu diapresiasi. Diharapkan ada kearifan dari semua pihak untuk mencari solusi guna mengatasi persoalan bangsa ini. Sehingga problematika kesenjangan ekonomi dan politik yang semakin hari semakin pedas dapat segera diredam.

Bohong ala Si Kancil
Ibarat dongeng Kancil Mencuri Ketimun, dongeng yang menarik bagi anak-anak kecil. Kancil digambarkan sebagai hewan yang cerdas, lincah, pandai berbohong, dan lihai berkelit dari hukuman. Karena itu proses internalisasi dan sosialisasi “kancil” yang sejak kecil ceritannya tidak berubah, membentuk persepsi bahwa berbohong dan mencuri itu adalah sebuah kepintaran dan keunggulan manusia.
Akal-akalan berbohong kadang tipis perbedaannya dengan yang benar. Tetapi kebenaran walau dengan tingkah amburadul tetap menjadi benar. Masalah yang kemudian muncul adalah ”ukuran pedas” dalam kebohongan itu. Melalui proses kerja yang dilakukan hingga dampak negatifnya membuat kebohongan menjadi sebuah tindakan yang dibanggakan. Padahal berbohong bisa dikatakan sebagai korupsi moral. Adakah berbohong untuk kebaikan?. Tentu bukan Si Kancil yang menjawabnya. Pada tataran wacana, para elite politik memiliki wawasan dan keinginan memajukan bangsa. Pertanyaan berikutnya, mulai dari mana dan bagaimana melakukannya? Sosiolog Ibnu Khaldun berpendapat, agama dan perilaku rakyat akan mengikuti agama dan perilaku penguasanya. Bagi masyarakat tradisional semua perubahan dan perbaikan itu harus dimulai dari jajaran elite penguasanya.
Maka dari itu, memulai untuk tidak berbohong adalah kunci bagaimana memajukan bangsa. Alangkah bijaksananya jika kemudian seorang penguasa dan pemimpin mampu menancapkan tonggak kebenaran diantara banyaknya kebohongan di-”negeri dongeng kancil” ini.

Memetik Pemakzulan?
Masih dengan dongeng Kancil Mencuri Ketimun diatas, diterimanya dongeng itu sejak kecil dan berulang-ulang seakan mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Teori psikologi kognitif, apa yang dilakukan oleh seseorang sangat dipengaruhi kebiasaan kecil dan mengulang apa yang dirasakan dan didengar. Celakanya, dongeng kancil masih menghiasi dunia dongeng anak-anak saat ini.
Mudah-mudahan kebiasaan impeachment bukan kebiasaan yang ditularkan oleh dongeng itu. Sebab, berkaitan dengan dikabulkannya gugatan uji materi atas pasal 184 ayat 4 Undang-undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD oleh Mahkamah Konstitusi, membuat jalan menuju pemakzulan Presiden makin terbuka. Itu lantaran pembuatan syarat pengajuan hak menyatakan pendapat menjadi lebih ringan, yakni bisa dilakukan mayoritas sederhana atau 2/3 anggota DPR.
Dikarenakan dalam pasal 184 ayat 4 UU No. 27 tahun 2009 perubahan jumlah kuorum yang ditentukan jauh lebih banyak, merupakan bentuk pengurangan hak konstitusional DPR. Akibatnya, DPR kemudian tidak bisa menjalankan fungsi checks and balances terhadap kebijakan pemerintah. Perbedaan jumlah kuorum tersebut bisa dianggap sebagai upaya merusak tatanan kehidupan demokrasi sendiri, karena seolah-olah dibuat untuk kepentingan kekuasaan semata.
Jika kemudian yang terjadi adalah impeachment atau pemakzulan, mungkin ini merupakan “sejarah pedas” negeri dongeng Kancil Mencuri Ketimun ini. Bagaimana tidak, hampir semua Presiden negeri ini sharus lengser karena pemakzulan. Berperilaku dan bersikap yang baik jika ujung harapannya adalah sebuah balasan atau pamrih yang baik pula. Agak mustahil sebuah negara dapat menyelesaikan berbagai masalah jika mulut masih dirasa pedas yang berkepanjangan. Sekarang adalah era keterbukaan informasi, sampaikan secara jujur, baik, dan benar.
Polemik kenaikan gaji pejabat membuat suasana semakin runyam, sekaligus menambah deretan kerumitan jalannya sistem pemerintahan ini. Tarik menarik dan tak ada ujung siapa yang kalah juga mengalah. Kalau analisis dongeng Kancil dan Ketimun di atas benar, maka wajar untuk menyatakan dongeng itu pedas. Perlu pertimbangan lagi untuk mendongengkannya. Karena tindakan mencuri, berbohong, dan senang berkelit dengan hukum, semakin bangga ditontonkan pemimpin dan petinggi bangsa ini.
Karena negeri ini bukan negeri dongeng pedas punya ”para kancil”.

Hendro Muhaimin
Staf Peneliti Pusat Studi Pancasila UGM

Leave a comment